Fenomena Bendera Bajak Laut Rusak Kesakralan HUT RI

0

Oleh : Andika Surya Damadewa*)

Bulan Agustus selalu menjadi momen sakral dalam napas kebangsaan Indonesia. Peringatan hari kemerdekaan bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan penghormatan terhadap darah, air mata, dan pengorbanan para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan. Namun tahun ini, nuansa kebangsaan tersebut diuji oleh fenomena pengibaran bendera fiksi “One Piece”, yang menyebar viral menjelang HUT ke-80 RI.

Anggota Komisi I DPR RI, Dr. Tubagus Hasanuddin, menyatakan keprihatinan mendalam atas pengibaran bendera fiksi tersebut, terutama jika dilakukan pada tanggal 17 Agustus. Ia menekankan bahwa bendera Merah Putih adalah simbol nasional yang sudah diperjuangkan dengan pengorbanan besar. Mengacu pada Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 2009, bendera negara wajib dikibarkan oleh warga negara pada momen kemerdekaan.

Pengibaran selain Merah Putih, menurutnya, tidak hanya tidak etis tetapi juga menodai makna kemerdekaan dan kewibawaan bangsa. Pihaknya menyerukan agar kritik terhadap pemerintahan disampaikan melalui saluran yang sah dan substantif, bukan simbol fiksi yang bisa membingungkan publik sekaligus mencederai nilai nasionalisme. Ia juga mengingatkan bahwa menjaga martabat simbol negara adalah bagian dari tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa, bukan hanya kewajiban pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan, merespons dengan tegas. Ia menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece bersama Merah Putih adalah bentuk provokasi simbolik yang dapat merendahkan martabat bendera nasional. Menurutnya, menyandingkan simbol fiksi dengan simbol perjuangan bangsa adalah tindakan yang tidak relevan dan tidak pantas. Budi Gunawan menekankan bahwa ekspresi kreatif dan kebebasan berekspresi harus tetap berada dalam koridor hukum, dan pelanggaran terhadap simbol negara sudah diatur dengan jelas dalam UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1).

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mentoleransi tindakan-tindakan yang berpotensi mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, terlebih saat momentum sakral seperti Hari Kemerdekaan. Dalam perspektif hukum, pengibaran simbol non-negara, apalagi jika disandingkan atau diposisikan sejajar dengan Bendera Merah Putih, merupakan pelanggaran serius yang dapat dijatuhi sanksi pidana. Pasal 66 dalam undang-undang yang sama bahkan memberikan dasar hukum bagi penindakan tegas terhadap siapa pun yang menghina atau memperlakukan lambang negara secara tidak pantas.

Di sisi lain, Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker), Immanuel Ebenezer (Noel) menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece bukanlah bentuk pengingkaran terhadap nasionalisme atau penghinaan terhadap Merah Putih, melainkan ekspresi kekecewaan generasi muda yang penuh dengan aspirasi terhadap keadilan, solidaritas, dan perubahan. Noel menekankan bahwa anak muda hari ini akrab dengan simbol fiktif yang mewakili semangat kebebasan dan persahabatan.

Namun demikian, ia juga menggarisbawahi bahwa penggunaan simbol fiktif tidak bisa dibenarkan ketika menggeser, menggantikan, atau disejajarkan dengan simbol kenegaraan, apalagi dalam konteks momen sakral seperti peringatan Hari Kemerdekaan. Meski aspirasi kaum muda perlu didengar dan dihargai, penggunaan simbol-simbol alternatif tidak boleh melampaui batas konstitusional dan norma kebangsaan. Merah Putih adalah lambang yang lahir dari perjuangan dan pengorbanan kolektif bangsa, bukan sekadar penanda administratif, tetapi refleksi historis dan spiritual dari identitas nasional.

Saat ini, saluran kritik dan kreativitas terbuka luas di era demokrasi ini, namun perlu diarahkan pada bentuk-bentuk yang konstruktif, edukatif, dan tetap dalam kerangka penghormatan terhadap simbol negara. Semangat kebebasan dan keadilan yang diidealkan anak muda seharusnya justru memperkuat nasionalisme, bukan diwujudkan dalam bentuk-bentuk ekspresi yang bisa memicu kontroversi atau bahkan perpecahan. Maka dari itu, menjadikan simbol fiksi sebagai medium kritik harus tetap mempertimbangkan nilai-nilai kebangsaan, serta tidak boleh digunakan secara serampangan, apalagi sampai menodai kesakralan Merah Putih.

Mari kita sambut HUT ke-80 RI dengan semangat yang sama seperti para pejuang zaman dahulu, yaitu dengan hormat dan cinta terhadap Merah Putih. Pemerintah menunjukkan ketegasan yang proporsional dalam menjaga kehormatan simbol negara, namun tetap mengingatkan lewat pendekatan empatik bahwa generasi muda perlu didengar dan dijembatani. Inilah saat yang tepat untuk memperkuat kembali nilai-nilai kebangsaan agar tidak terkikis oleh budaya populer yang kerap mengaburkan identitas nasional.

Semangat kemerdekaan harus terus dijaga, tidak hanya melalui upacara, tetapi juga lewat sikap dan perilaku yang mencerminkan kecintaan terhadap tanah air. Sejarah telah mengajarkan kita, perjuangan bangsa tak hanya tentang senjata, melainkan tentang cinta, aspirasi, dan suara hati rakyat. Kini, saatnya kita memperkokoh kebersamaan lewat bendera Merah Putih dengan penuh khidmat di hati, bukan ternodai oleh simbol fiksi semata. Mari kita jaga kesakralan momen kemerdekaan dengan menghormati sosok Merah Putih, rangkul generasi muda dengan dialog, dan lanjutkan cita-cita bangsa dengan semangat kebangsaan dan cinta tanah air.

)* Penulis Merupakan Pengamat Hukum dan Keamanan Nasional

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *