Larangan Pengibaran Bendera One Piece Bentuk Tegas Negara Menjaga Martabat Merah Putih

Oleh : Sinta Dewayani )*
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, ruang publik dan media sosial diramaikan dengan fenomena pengibaran bendera Jolly Roger—ikon dari manga dan anime Jepang One Piece—yang bahkan dalam beberapa dokumentasi terlihat sejajar dengan Sang Saka Merah Putih. Fenomena ini sontak menuai perhatian berbagai kalangan, terutama karena posisi bendera fiksi tersebut ditempatkan setara dengan simbol negara, yang tidak hanya melanggar etika kebangsaan tetapi juga berpotensi mencederai nilai persatuan dan integritas bangsa.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menegaskan bahwa negara memiliki hak penuh untuk menertibkan pengibaran simbol-simbol non-negara yang berpotensi menimbulkan polemik. Menurutnya, pelarangan terhadap bendera One Piece bukan semata-mata membatasi ekspresi warga, melainkan bagian dari penegakan hukum dan penghormatan terhadap simbol nasional. Pigai menyatakan bahwa pelarangan ini merupakan wujud komitmen negara dalam menjaga marwah dan martabat bendera Merah Putih.
Simbol negara bukan sekadar kain berwarna merah dan putih, melainkan representasi dari perjuangan panjang, darah, dan pengorbanan para pahlawan bangsa. Oleh sebab itu, dalam setiap perayaan Hari Kemerdekaan, kehadiran simbol negara harus dikawal penuh dengan penghormatan. Kemunculan simbol lain, terlebih yang berasal dari dunia fiksi seperti Jolly Roger, jika tidak ditempatkan secara proporsional, justru berisiko menciptakan kesalahpahaman kolektif di tengah masyarakat.
Kreativitas anak muda dalam mengadopsi budaya populer seperti One Piece memang patut diapresiasi, namun kebebasan berekspresi tetap memiliki rambu. Pengibaran simbol-simbol asing—meskipun berasal dari budaya populer yang digandrungi—perlu mempertimbangkan aspek waktu, tempat, dan kepatutan. Dalam momentum sakral seperti perayaan kemerdekaan, sangat tidak etis jika simbol negara disandingkan dengan simbol bajak laut fiksi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, dan Keamanan, Budi Gunawan, juga menanggapi fenomena ini dengan tegas. Budi menekankan pentingnya masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh gerakan-gerakan yang membawa simbol asing ke dalam ruang peringatan nasional. Menurutnya, menjaga kemurnian perayaan kemerdekaan dari simbol-simbol tidak relevan adalah bentuk penghargaan terhadap sejarah perjuangan bangsa.
Aturan hukum sebenarnya sudah memberikan batasan yang cukup jelas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, pasal 24 menegaskan larangan terhadap tindakan yang merendahkan kehormatan bendera negara. Walaupun tidak secara eksplisit melarang pengibaran bendera non-negara, pelanggaran terhadap etika pengibaran, apalagi menyamakan kedudukannya dengan bendera Merah Putih, tetap dapat ditafsirkan sebagai bentuk pelecehan simbolik.
Bendera Jolly Roger dari One Piece memang kerap diasosiasikan dengan semangat kebebasan dan perlawanan dalam narasi fiksi. Namun, simbol tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks bajak laut—yang secara historis mengandung makna kekerasan, pelanggaran hukum, dan anarki. Ketika bendera seperti itu dikibarkan sejajar dengan Merah Putih, publik bisa terjebak dalam interpretasi yang keliru, dan lebih parahnya, terprovokasi oleh narasi-narasi yang ingin menggiring opini publik ke arah anti-nasionalisme.
Dalam konteks pembangunan karakter bangsa dan pendidikan kebangsaan, menjaga simbol negara dari pelecehan sangatlah penting. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Selain menertibkan secara hukum, pendekatan edukatif terus digencarkan agar generasi muda lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam setiap simbol negara. Tindakan pencegahan lebih dikedepankan, bukan semata-mata sebagai bentuk pelarangan, melainkan upaya kolektif menjaga keutuhan dan persatuan bangsa di tengah derasnya pengaruh budaya asing.
Pigai juga menekankan bahwa pelarangan ini mencerminkan sinergi antara hukum nasional dan prinsip-prinsip internasional dalam menjaga stabilitas negara. Kebebasan berekspresi memang dijamin dalam sistem demokrasi, tetapi tetap berada dalam koridor hukum dan etika kebangsaan. Oleh karena itu, ketika ekspresi menabrak batas yang telah ditentukan, negara berhak bertindak.
Bagi generasi muda yang tumbuh dalam era digital dan globalisasi, budaya populer adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, pengaruh budaya luar perlu disikapi dengan kedewasaan. Memakai kaos atau menonton anime tidak dilarang, tetapi saat simbol asing mulai masuk dalam ranah kenegaraan seperti pengibaran bendera, maka harus ada kesadaran batas yang jelas. Simbol negara tidak hanya memiliki nilai hukum tetapi juga nilai historis dan emosional yang sangat dalam.
Budi Gunawan juga mengingatkan bahwa pemerintah akan mengambil langkah tegas jika terdapat indikasi adanya upaya kesengajaan dalam mencederai simbol negara dengan memanfaatkan narasi budaya populer. Sikap ini bukan berarti pemerintah anti terhadap budaya luar, melainkan bentuk keberpihakan terhadap jati diri bangsa yang harus dijaga dengan tegas namun elegan.
Perayaan HUT ke-80 RI adalah momen penting untuk menegaskan semangat persatuan, rasa hormat terhadap perjuangan bangsa, dan komitmen menjaga integritas nasional. Dalam momen bersejarah ini, seluruh elemen masyarakat diharapkan berpartisipasi dengan cara-cara yang konstruktif dan sesuai dengan semangat nasionalisme. Pengibaran bendera Merah Putih semestinya menjadi satu-satunya simbol utama dalam setiap perayaan kemerdekaan.
Pengaruh budaya populer memang tak terbendung, namun tidak semua simbol dari budaya tersebut layak dikibarkan dalam konteks kenegaraan. Masyarakat perlu menyadari bahwa menjaga kehormatan simbol negara adalah bentuk paling sederhana dari rasa cinta tanah air. Oleh karena itu, larangan pengibaran bendera One Piece bukan tindakan represif, melainkan langkah afirmatif menjaga identitas bangsa di tengah arus globalisasi yang semakin kompleks.
)* Penulis merupakan Pengamat Sosial dan Komunikasi Publik