Pemerintah Tegaskan Komitmen Perlindungan HAM Sesuai Aspirasi 17+8

Oleh: Kumala Adi Saputra (*
Dalam dinamika kehidupan berbangsa, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak bisa dipandang sebagai beban, melainkan sebagai fondasi dari demokrasi dan keadilan sosial. Aspirasi 17+8 yang selama ini digaungkan masyarakat sipil sesungguhnya merupakan refleksi nyata bahwa rakyat menginginkan negara hadir lebih kuat dalam melindungi martabat kemanusiaan. Pemerintah pun menegaskan komitmennya dengan mengambil langkah-langkah progresif melalui revisi Undang-Undang HAM dan pembentukan mekanisme independen yang lebih transparan. Semua ini memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menjadikan HAM sebagai pilar utama pembangunan nasional.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai mengatakan bahwa revisi UU HAM akan mengatur berbagai aspek penting terkait pembangunan hak asasi manusia di seluruh Indonesia. Menurutnya, langkah ini tidak sekadar memperbarui regulasi yang sudah ada, tetapi juga menguatkan institusi-institusi HAM agar dapat bekerja lebih optimal. KomnasHAM, sebagai garda terdepan dalam isu kemanusiaan, dipastikan mendapatkan dukungan kelembagaan yang lebih kokoh. Bukan hanya itu, Natalius juga menegaskan bahwa lembaga lain seperti Komnas Anak, Komnas Perempuan, serta Komnas Disabilitas akan diperkuat baik dari segi fungsi maupun institusinya. Upaya ini mencerminkan kesungguhan negara dalam merangkul seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.
Revisi undang-undang tersebut juga diharapkan menjadi jawaban atas keresahan publik mengenai perlindungan HAM yang lebih menyeluruh. Selama ini, seringkali terjadi tumpang tindih kewenangan ataupun keterbatasan lembaga dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Dengan penguatan regulasi dan kelembagaan, pemerintah ingin memastikan agar tidak ada celah hukum yang membuat korban kehilangan akses terhadap keadilan. Hal ini sejalan dengan semangat aspirasi 17+8 yang menuntut keterjaminan hak-hak warga negara dari berbagai kalangan, baik anak-anak, perempuan, disabilitas, maupun kelompok rentan lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Presiden telah menyambut baik inisiatif enam Lembaga Negara HAM yang membentuk tim penyelidik non-yudisial independen terkait aksi demonstrasi Agustus lalu. Menurut Yusril, tim ini justru memiliki kedudukan dan independensi yang lebih kuat dibandingkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang biasanya dibentuk melalui Keputusan Presiden. Jika TGPF pada akhirnya bertanggung jawab kepada presiden, maka tim bentukan enam lembaga HAM ini sepenuhnya mandiri dan semakin memperkuat kredibilitas di mata publik.
Langkah tersebut menunjukkan adanya perubahan paradigma bahwa penyelesaian persoalan HAM kini diperkuat dengan pelibatan lembaga independen” agar tetap menonjolkan peran pemerintah. Negara memberikan ruang bagi lembaga independen untuk menggali kebenaran secara lebih objektif dan menyeluruh. Hal ini penting agar tidak ada keraguan publik terhadap proses pencarian fakta, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut demonstrasi besar maupun pelanggaran HAM yang berdampak luas. Dengan mengedepankan independensi, pemerintah berusaha menjawab tuntutan keadilan dan keterbukaan yang diinginkan masyarakat.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan bahwa pembentukan tim independen merupakan wujud komitmen masing-masing lembaga HAM untuk mencari fakta dan menyusun laporan yang komprehensif. Tim ini tidak hanya bertugas mengumpulkan data, tetapi juga menggali informasi langsung terkait kondisi korban, upaya yang telah dilakukan pemerintah, hingga langkah-langkah pemulihan yang dibutuhkan. Dengan begitu, hasil kerja tim nantinya dapat menjadi rekomendasi strategis bagi pemerintah dalam menegakkan kebenaran, keadilan, serta memastikan pemulihan menyeluruh bagi korban.
Upaya pencarian fakta yang transparan sekaligus memberikan ruang partisipasi masyarakat sipil akan memperkuat legitimasi negara di mata rakyat. Bagi korban dan keluarga, kehadiran tim independen ini adalah bentuk pengakuan terhadap penderitaan yang mereka alami, serta jaminan bahwa suara mereka tidak diabaikan. Sementara itu, bagi pemerintah, langkah ini mempertegas komitmen bahwa perlindungan HAM bukanlah retorika semata, melainkan bagian dari kebijakan yang nyata dan terukur.
Lebih jauh, penguatan lembaga-lembaga HAM sekaligus pembentukan tim independen juga berfungsi sebagai jembatan penting untuk mencegah terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Negara hadir tidak hanya untuk menyelesaikan persoalan yang sudah terjadi, tetapi juga membangun sistem yang mampu memberikan peringatan dini dan perlindungan preventif. Dalam konteks ini, aspirasi 17+8 menemukan relevansinya karena sejalan dengan kebutuhan masyarakat akan jaminan HAM yang komprehensif.
Langkah berani pemerintah ini tentu perlu mendapat dukungan luas. Tidak ada demokrasi yang sehat tanpa perlindungan HAM, dan tidak ada perlindungan HAM tanpa institusi yang kuat serta mekanisme independen yang dipercaya. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga HAM, dan masyarakat sipil menjadi syarat mutlak untuk memastikan keadilan sosial benar-benar dirasakan oleh seluruh warga negara.
Dengan berbagai langkah nyata tersebut, pemerintah menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat tidak hanya didengar, tetapi juga ditindaklanjuti secara konkret. Aspirasi 17+8 yang mencerminkan keinginan rakyat untuk mendapatkan kepastian keadilan kini dipayungioleh kebijakan yang lebih tegas. Hal ini membuktikan bahwa dialog antara rakyat dan negara bisa melahirkan solusi yang berkeadilan serta memperkuat pondasi demokrasi.
Seluruh upaya ini adalah sebuah ajakan moral bagi kita semua untuk mempercayakan perlindungan HAM kepada pemerintah yang telah menunjukkan keseriusannya. Aspirasi 17+8 kini mendapatkan jawaban melalui kebijakan konkret. Mari bersama-sama mendukung langkah pemerintah dalam memperkuat sistem perlindungan HAM, demi Indonesia yang lebih adil, transparan, dan menghargai martabat setiap manusia.
(* Penulis merupakan Pegiat HAM Jawa Barat