RUU Penyiaran: Pilar Strategis Pemerintah Menata Era Digital dan Menangkal Provokasi

0

Oleh : Ricky Rinaldi )*

Revisi Undang-Undang Penyiaran menjadi salah satu upaya strategis pemerintah dan DPR untuk menghadirkan tata kelola media yang lebih adaptif terhadap tantangan era digital. Di tengah derasnya arus informasi di platform digital, RUU Penyiaran diposisikan sebagai instrumen penting dalam memitigasi dampak buruk konten provokatif dan hoaks yang dapat memecah belah masyarakat.

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah lanskap penyiaran secara signifikan. Jika dahulu penyiaran hanya terkait televisi dan radio, kini informasi juga mengalir deras melalui media sosial, video daring, dan podcast yang tak selalu tunduk pada regulasi konvensional. Inilah yang mendorong DPR mempercepat pembahasan revisi UU Penyiaran agar mampu mengakomodasi realitas baru tersebut.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta menyebut bahwa UU Penyiaran yang berlaku saat ini sudah tidak relevan karena disusun pada era analog. Menurutnya, revisi ini diperlukan agar regulasi mampu menjawab tantangan digitalisasi, meskipun idealnya penyiaran analog dan digital diatur dalam undang-undang yang terpisah. Ia mengakui bahwa penggabungan keduanya dalam satu RUU saat ini adalah langkah realistis demi menghindari stagnasi legislasi.

Anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono menyatakan bahwa revisi ini merupakan hasil evaluasi panjang sejak 2012. Ia menyoroti pentingnya menciptakan kesetaraan regulasi antara media konvensional dan platform digital, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Baginya, revisi ini harus mampu memberikan kepastian hukum sekaligus menjaga kualitas konten siaran agar tetap informatif, edukatif, dan konstruktif.

Dave lebih lanjut menjelaskan bahwa proses penyusunan RUU Penyiaran telah mengalami beberapa kali pembaruan substansi, termasuk setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini menunjukkan bahwa proses legislasi terus bergerak menyesuaikan dengan dinamika sosial dan teknologi, dengan tetap mempertimbangkan aspirasi pelaku industri penyiaran serta masyarakat sipil.

Salah satu sorotan penting dalam RUU ini adalah pengaturan ulang terhadap konten-konten provokatif yang kerap berseliweran di media digital. Regulasi baru diharapkan dapat mendorong tanggung jawab penyelenggara platform dalam menyaring dan menangani konten-konten bermuatan hoaks, ujaran kebencian, serta disinformasi politik yang mengancam kohesi sosial.

Kehadiran RUU ini bukan untuk membatasi, melainkan untuk menata. Menata ulang ruang informasi agar tidak dikuasai oleh narasi-narasi yang memperkeruh suasana, melainkan narasi yang membangun kesadaran kolektif dan kebersamaan. Revisi ini menjadi pijakan penting untuk masa depan penyiaran Indonesia yang demokratis dan berintegritas.

DPR bersama pemerintah dan masyarakat sipil kini dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa regulasi ini benar-benar berpihak pada publik. Momentum ini jangan disia-siakan. Dengan komitmen kuat, RUU Penyiaran dapat menjadi tameng sekaligus pemandu bagi bangsa dalam menghadapi era disrupsi informasi.

Namun, tantangan ke depan bukan hanya soal perumusan regulasi, melainkan juga efektivitas implementasinya. Penegakan aturan harus dibarengi dengan pembentukan badan pengawas yang independen dan kapabel dalam menjawab dinamika media digital. Tanpa itu, RUU Penyiaran hanya akan menjadi dokumen normatif yang gagal menjawab kebutuhan di lapangan.

Selain itu, penting untuk menjaga agar revisi ini tidak dijadikan alat kepentingan politik sesaat. Penyusunan pasal-pasal dalam RUU Penyiaran harus didasarkan pada prinsip keadilan, keterbukaan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa membangun sistem penyiaran yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan yang bertanggung jawab.

Kekuatan RUU ini terletak pada kemampuannya untuk mengatur dengan adil, bukan menekan. Oleh karena itu, keterlibatan publik dalam proses penyusunan hingga implementasi mutlak diperlukan. Ruang dialog harus dibuka selebar-lebarnya agar regulasi ini tidak hanya mencerminkan kepentingan negara, tetapi juga kebutuhan masyarakat sebagai pengguna informasi.

Revisi UU Penyiaran juga berpotensi memperkuat ekosistem media nasional. Dengan kejelasan aturan, pelaku industri penyiaran lokal akan memiliki ruang yang lebih sehat untuk tumbuh dan bersaing. Ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam memperkuat ketahanan informasi nasional di tengah arus globalisasi dan serbuan konten asing.

Sebagai bagian dari langkah proaktif pemerintah dalam memperkuat fondasi demokrasi, RUU Penyiaran turut mempertegas pentingnya literasi digital sebagai alat mitigasi. Pemerintah dan DPR harus bekerja sama menciptakan ekosistem penyiaran yang mampu mendidik masyarakat untuk mengenali informasi yang kredibel, serta tidak mudah terpengaruh oleh konten manipulatif.

Dengan penguatan kapasitas lembaga penyiaran publik dan komunitas, revisi UU ini diharapkan mampu menghadirkan media yang berimbang, independen, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Dukungan terhadap media lokal juga perlu ditingkatkan, agar keberagaman informasi tetap terjaga dan tidak dimonopoli oleh segelintir pemain besar dalam industri.

Jika dikelola dengan baik, revisi UU Penyiaran dapat menjadi tonggak penting bagi Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan digital yang inklusif dan bertanggung jawab. Inilah kesempatan emas untuk membangun sistem penyiaran yang tidak hanya kuat dari sisi regulasi, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.

)* Pengamat Isu Strageis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *