Setahun Asta Cita Presiden Prabowo: Data, Layanan, dan Martabat Sosial Bertemu di Lapangan

0

Oleh: Anik Tuniaty *)

Asta Cita adalah poros kebijakan; setahun berjalan, bukti di lapangan menunjukkan fondasi yang mulai kokoh—bukan hanya indikator makro yang membaik, tetapi juga infrastruktur program yang rapi dan dampak yang terasa di rumah tangga berpendapatan rendah. Evaluasi para peneliti, akademisi, dan pelaku kebijakan juga mengisyaratkan hal serupa: kepercayaan publik meningkat, tata kelola program lebih terstruktur, dan efek ekonomi–sosial mulai konsisten muncul.

Di sektor pangan, ketahanan yang berpihak pada produsen sekaligus konsumen. Peneliti Litbang Kompas Agustina Purwanti menilai kinerja Kementerian Pertanian nyata dalam memperkuat ketahanan pangan, dengan tingkat keyakinan publik terhadap kemampuan Kementan menyejahterakan petani berada di 77 persen, kepuasan pada program ketahanan pangan 61,5 persen, dan kepuasan pada kinerja lembaga mencapai 71,5 persen; ia menekankan bahwa capaian ini berkait dengan program pemerintah yang memang turun sampai ke sentra pangan.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Lilik Sutiarso, mengaitkan temuan tersebut dengan kebijakan lapangan seperti optimalisasi lahan, pembenahan distribusi, dan penyaluran beras SPHP yang dinilai menolong petani maupun konsumen; ia menggarisbawahi pesan Presiden tentang kedaulatan pangan sebagai bagian dari kedaulatan negara dan menilai kerja kolaboratif yang sedang berlangsung perlu dijaga. Di hulu, Kementan mengaktifkan Satgas Penderasan Informasi untuk memetakan isu swasembada, serapan gabah, ketersediaan pupuk, pompanisasi, hingga cetak sawah; serapan 65 juta ton GKP dari jejaring penggilingan dilaporkan sebagai bantalan harga dan produksi.

Kebijakan harga dasar yang adil juga menyasar martabat produsen. Peneliti Senior Litbang Kompas Budiawan Sidik Arifianto menyebut kepuasan petani atas kebijakan Kementan menembus 84 persen, didorong antara lain oleh kenaikan HPP GKP dari Rp5.500 menjadi Rp6.500/kg; menurutnya, mayoritas responden—77 persen—menilai kebijakan HPP menyejahterakan petani, dan angka kepuasan naik lebih tinggi pada kelompok yang bersentuhan langsung dengan produksi. Kebijakan harga ini bukan sekadar statistik; tetapi juga jaring pengaman psikososial yang memberi sinyal pekerjaan yang dihargai, sehingga mendorong kontinuitas usaha tani, stabilitas pendapatan, dan kemampuan keluarga memenuhi kebutuhan dasar.

Sementara itu, energi dirapikan dengan kombinasi peningkatan pasokan dan transisi bersih. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mencatat dua lompatan: lifting migas naik dari sekitar 580 ribu menjadi 605 ribu barel per hari, dan porsi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan bertambah dari 11 persen menjadi 15,5 persen; ia menambahkan bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 14/2025 mendorong tata kelola sumur minyak rakyat agar lebih tertib, aman, dan berkelanjutan. Di sisi pembiayaan, jalur transisi diperkuat. CEO Danantara Rosan Roeslani memproyeksikan investasi fasilitas pengolahan sampah menjadi energi (PSEL) di 33 kota mencapai sekitar Rp91 triliun; ia menjelaskan perhitungan awal didasarkan asumsi kapasitas 1.000 ton per hari per daerah, yang masih bisa meningkat sesuai kebutuhan. Bagi keluarga miskin kota, energi yang andal dan pengelolaan sampah yang modern bukan isu teknokratik belaka; ia berhubungan langsung dengan kesehatan lingkungan, peluang kerja lokal, dan biaya hidup.

Di pilar SDM, layanan dasar bergerak dari niat menjadi sistem. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana melaporkan lebih dari 11.570 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah beroperasi; ia menarget seluruhnya bersertifikat SLHS agar mutu dan keamanan pangan terjaga. Sementara itu 35,4 juta penerima manfaat termasuk  ibu hamil/menyusui dan balita non-PAUD sudah menerima manfaat Makan Bergizi Gratis (MBG)  —indikasi perluasan payung proteksi untuk kelompok rentan. Dalam perspektif kesejahteraan sosial, gizi layak pada seribu hari pertama kehidupan adalah intervensi dengan imbal hasil sosial tertinggi, karena mengurangi gagal tumbuh, memperbaiki kapasitas belajar, dan menekan beban biaya kesehatan jangka panjang.

Pencegahan penyakit juga bergerak dari slogan ke praktik. Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) telah menyasar lebih dari 38 juta penerima manfaat tahun ini melalui puskesmas, posyandu, sekolah, klinik BPJS, kantor, dan komunitas—mendorong deteksi dini faktor risiko dan menurunkan ongkos sakit bagi keluarga miskin. Di pendidikan, Sekolah Rakyat diperluas lintas daerah hingga kini 116 Sekolah Rakyat telah beroperasi, sedangkan untuk talenta sains dan industri, dan menarget 100 Sekolah Garuda beroperasi pada 2029 (80 transformasi dan 20 baru), 16.111 sekolah direnovasi, dan 288.000 ruang belajar gunakan teknologi digital interaktif. Penguatan ekosistem SDM diperkuat kebijakan penghasilan aparatur: Perpres 79/2025 memasukkan kenaikan gaji ASN (khususnya guru, dosen, nakes, penyuluh), TNI/Polri sebagai program “Hasil Terbaik Cepat”. Dan pada wirausaha rakyat, Menko Perekonomian memperpanjang PPh final UMKM 0,5 persen hingga 2029 demi menjaga arus kas dan ruang ekspansi.

Dalam kacamata kesejahteraan sosial, kolaborasi seperti ini menciptakan jalur layanan yang utuh dari hulu ke hilir—mengurangi putus layanan yang sering dialami rumah tangga rentan. Setahun ini, Asta Cita menunjukkan dirinya bukan sekadar daftar keinginan, melainkan arsitektur kebijakan yang mulai mendarat: pangan lebih pasti, energi lebih andal, dan SDM tumbuh lewat layanan konkret. Ke depan arah kesejahteraan sosial kita kian tegak: keluarga yang lebih berdaya, anak-anak yang lebih sehat dan cerdas, serta komunitas yang tumbuh dari kerja—bukan sekadar bertahan dalam cuaca ekonomi. Itu ukuran kemajuan yang paling masuk akal bagi sebuah pemerintahan, dan—dari apa yang terlihat di lapangan—kita sedang bergerak ke sana.

*) Pemerhati sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *