Tren Bajak Laut Nodai HUT RI, Saatnya Masyarakat Kibarkan Bendera Merah Putih

Oleh : Zaki Walad )*
Mengibarkan bendera bajak laut berlambang tengkorak dan topi jerami menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia bukan lagi sekadar tren pop culture belaka. Fenomena ini telah bergeser menjadi isu serius yang memicu kekhawatiran publik, terlebih setelah dinilai berpotensi mengancam persatuan bangsa. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk meninjau ulang cara mengekspresikan identitas budaya, terutama ketika menyangkut momen kenegaraan yang sarat nilai historis dan nasionalisme.
Bendera yang identik dengan simbol kelompok bajak laut dari serial manga dan anime Jepang, One Piece, belakangan dikibarkan di sejumlah wilayah Indonesia. Awalnya, pengibaran tersebut hanya dianggap sebagai bentuk ekspresi kegemaran terhadap budaya pop, namun belakangan mendapatkan sorotan tajam dari sejumlah tokoh nasional, terutama kalangan parlemen.
Salah satu peringatan keras datang dari Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyebut bahwa tren pengibaran bendera tersebut tidak bisa lagi dipandang sekadar hiburan. Ia menyebut bahwa terdapat laporan intelijen yang mengindikasikan adanya motif politis di balik penyebaran simbol fiksi tersebut di ruang publik, terutama saat peringatan hari besar kenegaraan seperti HUT RI.
Menurutnya, bendera itu digunakan bukan semata-mata sebagai ekspresi budaya pop, tetapi berpotensi menjadi simbol perlawanan terhadap negara. Dalam konteks ini, Dasco meyakini bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan simbol budaya populer untuk menggoyahkan semangat persatuan di tengah masyarakat.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Wakil Ketua Fraksi Golkar MPR, Firman Soebagyo. Ia secara tegas menganggap pengibaran bendera bergambar tengkorak dengan topi jerami itu sebagai bentuk provokasi yang dapat merusak citra bangsa dan stabilitas nasional. Firman menyampaikan bahwa cara-cara seperti ini tidak boleh dibiarkan, apalagi dilakukan secara masif menjelang hari kemerdekaan. Ia bahkan menilai tindakan tersebut sebagai bagian dari upaya menjatuhkan pemerintahan, atau lebih lanjut dapat dikategorikan sebagai tindakan makar jika dibiarkan terus berlanjut.
Firman juga mengimbau aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas terhadap siapa pun yang kedapatan mengibarkan bendera One Piece berdampingan dengan bendera Merah Putih. Ia menekankan pentingnya menginterogasi para pelaku guna mengetahui motif dan pihak yang mungkin berada di balik aksi tersebut. Selain tindakan hukum, ia juga menyarankan agar dilakukan pembinaan terhadap pelaku agar mereka menyadari pentingnya menjaga kehormatan simbol negara.
Simbol tengkorak dengan topi jerami dalam cerita One Piece sendiri dikenal sebagai lambang kebebasan para bajak laut yang menolak tunduk pada aturan sistem dunia yang dinilai sewenang-wenang. Di dalam konteks fiksi, simbol ini merepresentasikan perjuangan melawan ketidakadilan. Namun, ketika simbol tersebut diadopsi dan dipertontonkan di dunia nyata, terlebih saat hari nasional seperti HUT RI, maknanya dapat ditafsirkan berbeda, bahkan menjadi bentuk penolakan terhadap sistem negara yang sah.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, turut menyuarakan sikap tegas atas fenomena ini. Menurutnya, pelarangan pengibaran bendera One Piece berdampingan dengan bendera Merah Putih merupakan langkah yang sah dan diperlukan untuk menjaga kehormatan simbol negara. Ia menyebut bahwa tindakan tersebut bukan merupakan pelanggaran atas kebebasan berekspresi, melainkan merupakan bagian dari upaya negara dalam menjaga kedaulatan dan ketertiban nasional. Pigai menegaskan bahwa simbol negara tidak boleh disamakan dengan bendera fiksi yang berasal dari dunia hiburan.
Lebih lanjut, Pigai menjelaskan bahwa pelarangan ini selaras dengan prinsip hukum internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam perjanjian tersebut, negara memiliki kewenangan untuk membatasi kebebasan berekspresi apabila tindakan tersebut berpotensi mengancam stabilitas dan kedaulatan nasional. Ia menegaskan bahwa bendera fiksi seperti One Piece tidak memiliki tempat dalam perayaan resmi kenegaraan.
Lebih jauh, fenomena ini juga memperlihatkan perlunya edukasi mendalam terhadap masyarakat, khususnya generasi muda, mengenai batas antara ekspresi budaya dengan penghormatan terhadap simbol negara. Negara memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan warganya agar memahami konteks penggunaan simbol, terlebih dalam momen yang sangat sakral seperti peringatan kemerdekaan. Di sisi lain, masyarakat juga dituntut untuk lebih bijak dan sensitif dalam mengekspresikan kecintaan mereka terhadap budaya populer agar tidak bertabrakan dengan nilai-nilai nasionalisme.
Tindakan tegas terhadap pengibaran bendera One Piece pada saat perayaan HUT RI bukanlah semata bentuk represi, melainkan cerminan dari pentingnya menjaga kekhidmatan momen bersejarah bangsa. Dalam peringatan hari kemerdekaan, seluruh elemen masyarakat seharusnya bersatu padu menunjukkan rasa hormat kepada simbol negara, bukan justru menghadirkan simbol-simbol yang berpotensi menimbulkan polemik. Menghormati bendera Merah Putih bukanlah semata kewajiban hukum, tetapi merupakan ekspresi cinta terhadap tanah air dan seluruh nilai yang diperjuangkan oleh para pahlawan.
Maka dari itu, mari kita jadikan momentum peringatan kemerdekaan ini sebagai ajang memperkuat rasa kebangsaan, bukan ajang unjuk simbol yang mengaburkan makna perjuangan. Bangsa Indonesia terlalu besar untuk dipecah belah oleh tren sesaat. Saatnya kita kembali mengibarkan semangat merah putih, bukan hanya di tiang-tiang bendera, tetapi juga di hati kita masing-masing.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute