Pemerintah Kebut Diversifikasi Pasar Ekspor untuk Cegah PHK

Oleh: Eleine Pramesti *)
Perekonomian global yang masih dibayangi ketidakpastian telah mendorong berbagai negara untuk melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi, termasuk Indonesia. Salah satu langkah krusial yang tengah dikebut pemerintah Indonesia adalah diversifikasi pasar ekspor, sebuah strategi yang dinilai vital dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional dan mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat berkurangnya permintaan dari mitra dagang utama.
Diversifikasi pasar ekspor merupakan upaya pemerintah untuk memperluas tujuan pengiriman barang dan jasa Indonesia ke lebih banyak negara di luar pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok. Langkah ini menjadi semakin relevan seiring meningkatnya tekanan ekonomi global, perang dagang, serta fluktuasi nilai tukar yang memengaruhi permintaan internasional. Di tengah situasi itu, banyak perusahaan eksportir menghadapi tantangan serius yang berisiko mengurangi kapasitas produksi dan pada akhirnya memicu PHK terhadap tenaga kerja.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan pihaknya menilai diversifikasi pasar ekspor menjadi strategi utama yang harus ditempuh Indonesia di tengah dinamika tarif impor Amerika Serikat (AS) yang fluktuatif. Menurutnya, selama 10 tahun terakhir, dari 2014 hingga 2024, ekspor Indonesia ke AS relatif meningkat. Puncaknya terjadi pada 2022 dengan nilai ekspor mencapai 28,2 miliar dolar AS. Ini menunjukkan tren positif.
Namun, ia mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap satu pasar sangat berisiko, terutama menyusul kebijakan tarif AS yang sempat naik drastis dari 10% ke 32%, lalu turun menjadi 19%. Untuk itu, Esther menyarankan agar Indonesia memperluas pasar ekspor ke kawasan lain. Esther menilai, selain ASEAN dan Tiongkok, pasar Uni Eropa menawarkan potensi besar untuk ekspor produk Indonesia, terutama untuk komoditas seperti minyak nabati dan hewani, produk kimia, mesin, perlengkapan, alas kaki, dan produk mineral.
Dari sisi perdagangan, Tiongkok masih menjadi negara asal impor terbesar ke Indonesia, disusul Singapura, Jepang, AS, dan Malaysia. Sementara dari sisi ekspor, AS tetap menjadi mitra penting, bersama Tiongkok, India, dan Jepang. Untuk menghadapi tekanan dari kebijakan dagang AS, ia menekankan tiga strategi utama, yakni ekspansi perdagangan dengan diversifikasi pasar, penguatan hubungan ekonomi, dan peningkatan ragam produk ekspor.
Pemerintah menyadari bahwa ekspor memegang peran penting dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) memberikan pengaruh signifikan terhadap kelangsungan operasional industri nasional, khususnya di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, mebel, dan pengolahan makanan. Bila ekspor mengalami penurunan, maka banyak sektor tersebut akan terpukul dan berpotensi merumahkan ribuan pekerja. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mempercepat strategi diversifikasi pasar demi membuka peluang ekspor baru ke negara-negara nontradisional yang selama ini kurang digarap secara optimal.
Langkah konkret yang dilakukan adalah memperkuat kerja sama bilateral dan regional dengan negara-negara di kawasan Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Kawasan ini dianggap memiliki potensi besar namun belum dimaksimalkan sebagai pasar utama produk ekspor Indonesia. Dengan pendekatan ini, diharapkan produk ekspor Indonesia dapat masuk lebih mudah ke pasar baru yang tidak terlalu tergantung pada dinamika geopolitik besar seperti yang terjadi di negara-negara barat.
Selain itu, Ekonom Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto menilai diversifikasi pasar ekspor Indonesia ke Uni Eropa menjadi salah satu upaya mitigasi menghadapi ketidakpastian terkait tarif impor yang bakal diterapkan Pemerintah Amerika Serikat. Menurut Rully, nilai ekspor Indonesia ke Eropa saat ini masih bisa ditingkatkan lagi, terutama dengan komoditas-komoditas yang berpeluang besar masuk ke pasar tersebut.
Tidak hanya memperluas wilayah tujuan, pemerintah juga melakukan penyesuaian terhadap komoditas ekspor yang ditawarkan. Dalam konteks ini, pendekatan hilirisasi terus dikuatkan untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor nasional. Alih-alih hanya mengekspor bahan mentah, Indonesia kini mendorong peningkatan ekspor barang setengah jadi atau barang jadi yang memiliki daya saing lebih tinggi di pasar internasional.
Sebelumnya, Ketua Bidang Perdagangan Apindo, Anne Patricia Susanto mengatakan gelombang PHK dalam industri padat karya disebabkan oleh pelemahan permintaan ekspor. Penurunan tarif masuk ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19% telah membuat buyer global memastikan pesanannya ke pabrikan lokal.
Maka dari itu, Pemerintah menyadari bahwa langkah ini tidak bisa memberikan hasil instan. Namun, dengan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang konsisten, diversifikasi pasar ekspor dapat menjadi solusi jangka menengah dan panjang untuk menjaga daya saing industri nasional. Hal ini sekaligus menjadi benteng pelindung terhadap guncangan ekonomi global yang dapat mengancam stabilitas ketenagakerjaan. Dalam konteks pencegahan PHK, strategi ini menjadi sangat krusial karena menyentuh akar permasalahan, yaitu keberlangsungan permintaan terhadap produk industri dalam negeri.
Secara keseluruhan, kebijakan diversifikasi pasar ekspor bukan semata-mata strategi dagang, melainkan bagian dari upaya strategis menjaga keseimbangan ekonomi nasional. Dengan membuka lebih banyak jalur ekspor ke pasar baru, Indonesia mengurangi ketergantungan terhadap pasar tradisional yang kerap berfluktuasi. Hal ini menjadi jaring pengaman penting bagi industri dalam negeri untuk tetap beroperasi secara optimal, menjaga arus produksi, dan menghindari gelombang PHK yang dapat berdampak pada stabilitas sosial.
)* Penulis adalah Jurnalis Energi di Greenpeace Resources Institute